Indonesia kaya akan sumber daya alam khususnya di daerah pangkal pinang provinsi bangka belitung, Indonesia menyumbang 1/3 timah dunia per tahun. Sebagaian besar timah ini berasal dari Kepuluan Bangka Belitung. Sebagian besar diekspor ke luar negeri, yakni Singapura 58%, Malaysia13%, Jepang 7%, dan Belanda 6%. Timah Bangka digunakan oleh merek-merek elektronik global terkenal, perusahaan penghasil handphone, atau komputer.
Namun kehancuran lingkungan parah telah terjadi di Bangka. Wilayah laut Bangka Belitung adalah salah satu lokasi terumbu karang utama dunia. Kegiatan penambangan telah menyebabkan sedimentasi membuat terumbu karang hancur (bleaching). Akibatnya, tangkapan nelayan berkurang hingga 80%. Disamping itu, penambangan timah pun kini marak dilakukan di laut. Sehingga selain sedimentasi yang bisa menyebar hingga radius lebih dari 20 kilometer, ekosistem laut pun dirusak, dibongkar. Pemulihan ekosistem laut adalah lambat dan membutuhkan biaya mahal.
Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.
Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah. Tabel 2. Luas KP dan Cadangan Timah
Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.
Namun kehancuran lingkungan parah telah terjadi di Bangka. Wilayah laut Bangka Belitung adalah salah satu lokasi terumbu karang utama dunia. Kegiatan penambangan telah menyebabkan sedimentasi membuat terumbu karang hancur (bleaching). Akibatnya, tangkapan nelayan berkurang hingga 80%. Disamping itu, penambangan timah pun kini marak dilakukan di laut. Sehingga selain sedimentasi yang bisa menyebar hingga radius lebih dari 20 kilometer, ekosistem laut pun dirusak, dibongkar. Pemulihan ekosistem laut adalah lambat dan membutuhkan biaya mahal.
Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan.
1. Lubang Tambang
2. Air Asam Tambang
Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!
1. Lubang Tambang
2. Air Asam Tambang
Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!
Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.
Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.
Berikut ini adalah data cadangan timah yang dikelola PT Timah. Tabel 2. Luas KP dan Cadangan Timah
Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.
Pemerintah Belum Optimal Kelola Pertambangan Timah
Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.
Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat. Namun, hal itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal, Indonesia diakui sebagai penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Cina. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebut sebagai negara yang masih memiliki kandungan timah berlimpah.
Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal. Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun, tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610 per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara, terutama dalam bentuk royalti dan pajak.
Sumber :
Comments
Post a Comment